IHSG Hari Ini Rebound & Ngegas 1% Lebih, Ini Penyebabnya
Jakarta, CNBC Indonesia – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil rebound pada perdagangan sesi I Selasa (6/8/2024), setelah kemarin ditutup ambruk lebih dari 3% karena memburuknya sentimen pasar global.
Hingga pukul 12:00 WIB, IHSG berhasil melonjak 1,11% ke posisi 7.137,87. IHSG pun berhasil kembali menyentuh level psikologis 7.100.
Nilai transaksi indeks pada sesi I hari ini sudah mencapai sekitar Rp 5 triliun dengan volume transaksi mencapai 7 miliar lembar saham dan sudah ditransaksikan sebanyak 546.190 kali. Sebanyak 328 saham menguat, 206 saham melemah, dan 239 saham cenderung stagnan.
Secara sektoral, sektor infrastruktur dan energi menjadi penopang IHSG pada sesi I hari ini, yakni masing-masing 1,24% dan 1,22%.
Selain itu, beberapa saham menjadi penopang (movers) IHSG pada sesi I hari ini. Berikut daftarnya.
Saham petrokimia milik konglomerat Prajogo Pangestu yakni PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) menjadi penopang terbesar IHSG di sesi I hari ini, yakni mencapai 13,8 indeks poin.
IHSG yang berhasil rebound, mengekor bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas juga bangkit dari zona koreksi. Indeks Nikkei 225 Jepang yang kemarin menjadi terburuk di Asia-Pasifik, pada hari ini menjadi yang terbaik dengan melejit hingga 10,12%. Kemudian disusul KOSPI Korea Selatan yang melesat hingga 4,36%.
Tak hanya Nikkei dan KOSPI, Hang Seng Hong Kong juga berhasil menguat 0,46%, Shanghai Composite China naik tipis 0,04%, dan ASX 200 Australia bertambah 0,49%.
Namun sayangnya, Straits Times (STI) Singapura masih terkoreksi 0,7%.
Tampaknya kemarin, investor cenderung panic selling karena bursa saham global berjatuhan, sehingga mempengaruhi pergerakan IHSG hingga sempat nyaris terkena trading halt atau penghentian sementara perdagangan. Namun pada akhirnya, IHSG mampu memangkas koreksinya meski di akhir perdagangan tetap ambruk lebih dari 3%.
Sebelumnya, pasar saham global berguguran sejak Jumat pekan lalu , karena pasar khawatir dari adanya potensi resesi yang bakal terjadi di Amerika Serikat (AS).
Potensi resesi AS muncul setelah rilis data pasar tenaga kerja di negeri Paman Sam yang melambat tajam dan beberapa data ekonomi AS yang cenderung mengecewakan.
Pekan lalu, negeri Paman Sam banyak mengeluarkan data penting seperti pengumuman suku bunga, pasar tenaga kerja yang meliputi klaim pengangguran, Non-Farm Payrolls (NFP) atau data pekerjaan tercatat di luar pertanian, sampai tingkat pengangguran.
Data pasar tenaga kerja mengalami perlambatan tajam. Dimulai dari klaim pengangguran naik signifikan ke 249.000, melampaui ekspektasi yang proyeksi hanya naik 1000 ke 236.000 klaim.
Sehari kemudian, kondisi pasar tenaga kerja yang melambat semakin dikonfirmasi dengan data pekerjaan tercatat di luar pertanian (non-farm payrolls/NFP) yang hanya bertambah 114.000, jauh dari estimasi pasar yang proyeksi adanya penambahan tenaga kerja 179.000 ke 175.000 pekerjaan. Tingkat pengangguran AS pada Juli 2024 juga melonjak ke 4,3% dari sebelumnya 4,1% pada Juni 2024.
Hal ini membawa kesimpulan pelaku pasar bahwa ancaman resesi meningkat di AS, yang kemudian memicu kekhawatiran akan terjadinya hard landing karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dinilai lambat melakukan quantitative easing seperti yang terjadi saat pandemi Covid-19 lalu.
CNBC INDONESIA RESEARCH